Si Pemanggil Hujan dari Ranah “Ngapak”
“Banyumas”, siapa yang tidak kenal dengan nama tersebut? Banyumas adalah
sebuah nama kabupaten sekaligus karesidenan yang terletak di provinsi Jawa
Tengah bagian baratdaya. Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Cilacap,
sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan
dengan Brebes dan Majenang, sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Tegal dan
Kabupaten Pemalang. Sehingga Banyumas sering disebut sebagai pusat kota
dikaresidenan selain kota utamanya adalah Purwokerto.
Banyumas dikenal sebagai “Ranah Ngapak”. Karena bahasa yang di gunakan
sehari-hari adalah bahasa ngapak (bahasa Jawa ngoko Banyumas/Banyumasan).
Banyumas terletak pada 108 0 ‘ 17 ”- 109 0 27’15” bujur barat dan 7 0 15 ‘05” –
7 0 37 ‘10” lintang selatan. Jumlah penduduk Banyumas ±1,7 juta jiwa. Dengan luas ±
1.327,59 km².
Keadaan penduduk di daerah ini sebagian besar adalah petani walaupun banyak juga
yang wirausaha.
Kesenian adat dan budaya masyarakat banyumas terbilang cukup banyak dan
unik. Hampir semua adat di daerah ini sangat kental dengan upacara pemanggilan
roh. Seperti Ebeg, Ruwatan, Barongan, Reog Mbanyumas, Cowongan dll. Adapun
kesenian adat yang tidak dengan memanggil roh seperti Begalan, tarian Lengger,
Calung, Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, Gendhing Banyumasan, musik Kenthongan,
dll.
Salah satu upacara adat yang keberadaannya sudah
jarang ditemukan ialah Cowongan. Cowongan adalah suatu upacara adat yang
dimaksudkan untuk meminta hujan dan diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun
yang lalu yang menjadi wariskan turun-temurun oleh nenek moyang. Cowongan
hampir mirip dengan jelangkung, Cowongan dibuat dari irus atau gayung dari tempurung kelapa, kukusan, kayu, dan bambu yang
menyerupai boneka pengusir burung yang dipasang di tengah-tengah sawah.
Cowongan juga dilengkapi dengan pakaian yang didominasi warna hitam dan corak
batik kecoklatan.
Meskipun sulit ditemukan, masih ada beberapa desa di
Banyumas dan sekitarnya yang menganut kepercayaan ini dan mengaplikasikannya
secara langsung. Salah satunya adalah desa Rawalo bagian pedalaman. Ketika
musim kering mulai melanda daerah ini, maka padi di sawah yang mereka tanami
pun hampir mati dan terancam gagal panen. Disaat inilah warga mulai berunding
untuk melakukan ritual Cowongan atau upacara permintaan hujan. Menurut Mbah
Kitem, sesepuh desa yang juga sebagai pawang hujan, sebelum melaksanakan
upacara itu, harus ada syarat yang wajib dipenuhi. Seluruh rangken (bekas jari-jari atap rumah dari bambu) yang masih
difungsikan warga harus dimusnahkan. Menurutnya juga, itu adalah permintaan
dari Dewi Sri dan warga harus menyanggupi karena batang bambu yang sudah rusak
akan menahan turunnya hujan. Adapun untuk pelaksanaanya biasanya di lapangan
setempat atau dipelataran rumah sesepuh desa. Diperlukan peralatan musik khas
Jawa atau yang biasa disebut dengan gamelan untuk mengiringi doa-doa permohonan
hujan dalam ritual Cowongan yang digelar hanya pada malam hari. Upacara ritual
ini biasanya dibuka pada pukul 22.00 WIB, dan pada saat inilah banyak warga
yang ikut serta berperan langsung membantu proses ritual ada juga yang sekadar
tertarik melihat tradisi yang jarang dilakukan ini. Dari sekian banyak penonton
yang datang, tak ada satupun dari mereka yang memakai pakaian berwarna merah
karena menurut kepercayaan warna merah dapat mengundang kemarahan dari arwah
yang hadir dalam prosesi tersebut karena merasa ditantang sehingga si pemakai
busana kerap kali mengalami kesurupan. Beberapa menit berselang tibalah
diprosesi inti. Tiga orang wanita diringi oleh belasan wanita dan lelaki separo
baya mulai memasuki tempat upacara. Secara bersamaan, tiga gadis ini memegangi
tali stagen ysng semuabagian ujungnya diikatkan pada Cowongan. Syarat untuk
menggendong Cowonganpun harus wanita yang masih perawan dan dalam keadaan suci
maksudnya tidak sedang datang bulan. Pada prosesi ini juga mulai dimainkan
sayup-sayup nyanyian jawa yang merupakan bagian dari doa-doa supaya Dewi Sri
(dewi padi) dan Dewi Larasati (dewi kesejahteraan) bersedia memasuki Cowongan
yang telah disediakan dan berkomunikasi dengan warga agar masalah kekeringan
yang telah melanda dapat teratasi. Ketika tembang jawa dan doa-doa memnta hujan
dinyanyikan kemudian diringi tembang lir-ilir, dengan perlahan Cowongan itu
bergerak tak tentu arah mengikuti liukan asap dupa.
Upacara dapat dikatakan berhasil apabila sudah ada
pertandanya. Pertanda itu berupa tiupan angin dingin, dan terlihat kilatan dari
arah gunung Slamet. Jika pertanda itu sudah muncul, biasanya tidak lama
kemudian hujan mulai turun.
Namun demikian, pertentangan-pertentangan juga banyak
bermunculan dari masyarakat modern dan kalangan ulama. Masyarakat modern yang
tidak percaya akan ritual-ritual pemanggilan arwah untuk meminta hujan itu
memilih tak berkomentar apa-apa dan tak mau tahu. Sedangkan dari kalangan
ulama-ulama menilai perbuatan yang seperti itu termasuk kedalam perbuatan
syirik besar karena telah menyembah selain kepada Allah SWT.
Budayawan pada era modern seperti ini sudah sulit
ditemukan. Kebanyakan dari keturunan mereka enggan untuk mewarisi budaya dari
nenek moyangnya karena dianggap katro.
Sehingga lambat laun tradisi-tradisi ritual akan musnah.
Inilah sikap yang harus kita pikirkan baik-baik. Ada
kalanya kita harus menguri-uri atau
melestarikan budaya Bangsa kita sendiri. Jangan sampai budaya yang kita miliki
ini diakui oleh negara lain. Namun tak salah pula jika kita menengok pendapat
ulama bahwasanya perbuatan demikian termasuk syirik besar karena telah disebutkan
dalam QS. An Nisaa: 48 yang artinya “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
Kita sebagai umat muslim dan muslimah harus mengakui
bahwa Allah SWT itu esa. Tentu kita tahu mana yang baik dan mana yang tidak
baik, bukan? Apakah kita harus percaya? Itu semua tergantung keimanan dari
dalam diri kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar