Sabtu, 09 Maret 2013

budaya asli Banyumas, Cowongan.


Si Pemanggil Hujan dari Ranah “Ngapak”



“Banyumas”, siapa yang tidak kenal dengan nama tersebut? Banyumas adalah sebuah nama kabupaten sekaligus karesidenan yang terletak di provinsi Jawa Tengah bagian baratdaya. Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Cilacap, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan dengan Brebes dan Majenang, sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang. Sehingga Banyumas sering disebut sebagai pusat kota dikaresidenan selain kota utamanya adalah Purwokerto.
Banyumas dikenal sebagai “Ranah Ngapak”. Karena bahasa yang di gunakan sehari-hari adalah bahasa ngapak (bahasa Jawa ngoko Banyumas/Banyumasan). Banyumas terletak pada 108 0 ‘ 17 ”- 109 0 27’15” bujur barat dan 7 0 15 ‘05” – 7 0 37 ‘10” lintang selatan. Jumlah penduduk Banyumas ±1,7 juta jiwa. Dengan luas ± 1.327,59 km². Keadaan penduduk di daerah ini sebagian besar adalah petani walaupun banyak juga yang wirausaha.
Kesenian adat dan budaya masyarakat banyumas terbilang cukup banyak dan unik. Hampir semua adat di daerah ini sangat kental dengan upacara pemanggilan roh. Seperti Ebeg, Ruwatan, Barongan, Reog Mbanyumas, Cowongan dll. Adapun kesenian adat yang tidak dengan memanggil roh seperti Begalan, tarian Lengger, Calung, Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, Gendhing Banyumasan, musik Kenthongan, dll.
Salah satu upacara adat yang keberadaannya sudah jarang ditemukan ialah Cowongan. Cowongan adalah suatu upacara adat yang dimaksudkan untuk meminta hujan dan diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu yang menjadi wariskan turun-temurun oleh nenek moyang. Cowongan hampir mirip dengan jelangkung, Cowongan dibuat dari irus atau gayung dari tempurung kelapa, kukusan, kayu, dan bambu yang menyerupai boneka pengusir burung yang dipasang di tengah-tengah sawah. Cowongan juga dilengkapi dengan pakaian yang didominasi warna hitam dan corak batik kecoklatan.
Meskipun sulit ditemukan, masih ada beberapa desa di Banyumas dan sekitarnya yang menganut kepercayaan ini dan mengaplikasikannya secara langsung. Salah satunya adalah desa Rawalo bagian pedalaman. Ketika musim kering mulai melanda daerah ini, maka padi di sawah yang mereka tanami pun hampir mati dan terancam gagal panen. Disaat inilah warga mulai berunding untuk melakukan ritual Cowongan atau upacara permintaan hujan. Menurut Mbah Kitem, sesepuh desa yang juga sebagai pawang hujan, sebelum melaksanakan upacara itu, harus ada syarat yang wajib dipenuhi. Seluruh rangken (bekas jari-jari atap rumah dari bambu) yang masih difungsikan warga harus dimusnahkan. Menurutnya juga, itu adalah permintaan dari Dewi Sri dan warga harus menyanggupi karena batang bambu yang sudah rusak akan menahan turunnya hujan. Adapun untuk pelaksanaanya biasanya di lapangan setempat atau dipelataran rumah sesepuh desa. Diperlukan peralatan musik khas Jawa atau yang biasa disebut dengan gamelan untuk mengiringi doa-doa permohonan hujan dalam ritual Cowongan yang digelar hanya pada malam hari. Upacara ritual ini biasanya dibuka pada pukul 22.00 WIB, dan pada saat inilah banyak warga yang ikut serta berperan langsung membantu proses ritual ada juga yang sekadar tertarik melihat tradisi yang jarang dilakukan ini. Dari sekian banyak penonton yang datang, tak ada satupun dari mereka yang memakai pakaian berwarna merah karena menurut kepercayaan warna merah dapat mengundang kemarahan dari arwah yang hadir dalam prosesi tersebut karena merasa ditantang sehingga si pemakai busana kerap kali mengalami kesurupan. Beberapa menit berselang tibalah diprosesi inti. Tiga orang wanita diringi oleh belasan wanita dan lelaki separo baya mulai memasuki tempat upacara. Secara bersamaan, tiga gadis ini memegangi tali stagen ysng semuabagian ujungnya diikatkan pada Cowongan. Syarat untuk menggendong Cowonganpun harus wanita yang masih perawan dan dalam keadaan suci maksudnya tidak sedang datang bulan. Pada prosesi ini juga mulai dimainkan sayup-sayup nyanyian jawa yang merupakan bagian dari doa-doa supaya Dewi Sri (dewi padi) dan Dewi Larasati (dewi kesejahteraan) bersedia memasuki Cowongan yang telah disediakan dan berkomunikasi dengan warga agar masalah kekeringan yang telah melanda dapat teratasi. Ketika tembang jawa dan doa-doa memnta hujan dinyanyikan kemudian diringi tembang lir-ilir, dengan perlahan Cowongan itu bergerak tak tentu arah mengikuti liukan asap dupa.
Upacara dapat dikatakan berhasil apabila sudah ada pertandanya. Pertanda itu berupa tiupan angin dingin, dan terlihat kilatan dari arah gunung Slamet. Jika pertanda itu sudah muncul, biasanya tidak lama kemudian hujan mulai turun.
Namun demikian, pertentangan-pertentangan juga banyak bermunculan dari masyarakat modern dan kalangan ulama. Masyarakat modern yang tidak percaya akan ritual-ritual pemanggilan arwah untuk meminta hujan itu memilih tak berkomentar apa-apa dan tak mau tahu. Sedangkan dari kalangan ulama-ulama menilai perbuatan yang seperti itu termasuk kedalam perbuatan syirik besar karena telah menyembah selain kepada Allah SWT.
Budayawan pada era modern seperti ini sudah sulit ditemukan. Kebanyakan dari keturunan mereka enggan untuk mewarisi budaya dari nenek moyangnya karena dianggap katro. Sehingga lambat laun tradisi-tradisi ritual akan musnah.
Inilah sikap yang harus kita pikirkan baik-baik. Ada kalanya kita harus menguri-uri atau melestarikan budaya Bangsa kita sendiri. Jangan sampai budaya yang kita miliki ini diakui oleh negara lain. Namun tak salah pula jika kita menengok pendapat ulama bahwasanya perbuatan demikian termasuk syirik besar karena telah disebutkan dalam QS. An Nisaa: 48 yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
Kita sebagai umat muslim dan muslimah harus mengakui bahwa Allah SWT itu esa. Tentu kita tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik, bukan? Apakah kita harus percaya? Itu semua tergantung keimanan dari dalam diri kita masing-masing.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar