Pajak
Ayam
Hampir
semua warga sudah terlihat memadati tiap sisi lapangan becek milik kampung
Sidoyang. Lapangan milik kampung Sidoyang adalah fasilitas paling mewah sebagai
sarana pertemuan antara warga dan pejabat desa. Para warga menanti perangkat
desa baru yang sejatinya akan menyampaikan pidato di depan warga Sidoyang. Setelah
menunggu kurang lebih dua jam, akhirnya mobil mewah berwarna hitam mengkilap
tiba di samping lapangan dengan dua kali bunyi klakson yang sungguh mengagetkan
penjual es dawet yang sedang dibeli Kartam tepatnya berada di sisi jalan becek
akibat hujan semalam, juga mengagetkan beberapa orang yang sedang kongkalikong.
“Begini wargaku, Aku ingin
memberitahukan tentang pentingnya membayar pajak, sebagai warga negara yang
baik kita kan harus bayar pajak toh nanti juga uang dari hasil pajak itu untuk
membangun jembatan yang rusak, memperbaiki sekolahan yang rusak, dan semua yang
rusak-rusak” dengan nada sedikit tegas, perangkat desa itu mulai berpidato
layaknya politikus elite di podium gedung dewan perwakilan. Kemudian menggerak-gerakkan
tangannya dan menaikkan alis meniru gaya presenter infotaiment di televisi. “Pajak
ayam dilakukan setiap hari Minggu sore.”
“Pak, saya hanya mempunyai tiga ekor
ayam apakah saya harus membayar pajak?” tanya salah seorang warga menggunakan
bahasa Indonesia dengan logat bahasa setempat yang masih sangat kental.
“Tentu saja! Begini ya, pajak untuk
seekor ayam seharga lima ribu” timpal si perangkat desa dengan begitu
meyakinkan dan mengejutkan semua warga.
Lima belas menit lamanya perangkat
desa itu menyampaikan maksudnya, tidak sebanding dengan waktu yang diluangkan
warga sekitar dua setengah jam yang lalu akibat keterlambatan perangkat desa.
Memang sudah menjadi budaya yang mendarah daging di antara oknum pejabat.
“Tadi pidato tentang apa le?” tanya Pakde Darpo kepada Kartam.
“Ah itu tadi tentang pajak ayam”
jawab Kartam dengan sedikit malas. “Pajak untuk membangun jembatan yang rusak,
memperbaiki sekolahan yang rusak, dan semua yang rusak-rusak” Kartam persis
menirukan kata-kata dan gerak-gerik perangkat desa tadi yang menurutnya tidak
jauh lebih bagus daripada pidato penjual obat di pasar Sidoyang. “Apa tidak
tahu ya kalau kita ini orang miskin untuk cari makan aja susah apalagi harus
membayar pajak ayam yang mahal itu, sinting!”
“Hust! Jangan sembarangan. Ya tidak
apa-apa to le, itu kan untuk
kepentingan bersama bukan kepentingan pribadi toh nanti kan uang kita untuk
kita nikmati bersama” jawab Pak Darpo santai.
“Kalau itu untuk kepentingan pribadi
bagaimana?”
“Masa jembatan mau dipakai sendiri.”
“Bukan itu, tapi belum sampai
memperbaiki jembatan uang sudah diembat”
“Ah tidak mungkin muka berwibawa
seperti Beliau mau melakukan korupsi, jangan asal ngomong kau, Tam.” Tegas pakdeku.
“Di negeri kita salah ngomong sedikit saja bisa masuk penjara!” tambah Pakde Darpo kemudian meminum seteguk
kopi hitam. “Apa kau tak tahu keluarga pak Dirham itu hah?”
“Tidak.”
“Dia mempunyai pendidikan yang
tinggi, berasal dari keluarga tercukupi, istrinya sering mengisi pengajian ke
masjid sana ke masjid situ, orangnya ramah dan yang jelas mereka semua
berwibawa sangat baik.”
Besok adalah hari Minggu sekaligus
minggu pertama pembayaran pajak ayam. Kartam berpikir sejenak sambil sesekali
menghitung jumlah ayam di kandang kalau-kalau jumlahnya melebihi sepuluh ekor
mengingat ia hanya memiliki beberapa rupiah saja.
Keesokan harinya semua warga yang
memiliki ayam berkumpul di rumah Pak RT untuk menyetorkan pajak. Bermacam-macam,
menurut berita yang tersiar. Ada yang hanya datang karena tidak punya uang dan
mau diperlakukan apa saja asalkan satu-satunya ayamnya tidak disita. Ada yang
hanya membayar lima ribu, sepuluh ribu, nekat tidak membayar sampai nekat pindah
ke kampung lain untuk menghindari pajak ayam kampung Sidoyang.
Berminggu-minggu, berbulan-bulan,
hingga tiga setengah tahun lamanya. Jembatan yang menghubungkan kampung
Sidoyang dengan kampung sebelah tidak juga diperbaiki. Padahal jembatan itu
adalah alternatif terdekat menuju sekolah, pasar, dan tempat-tempat vital
lainnya. Memang, ada jalan lain menuju kampung sebelah hanya saja warga harus
menempuh jarak sekitar tujuh belas kilometer untuk sampai kesana. Rasanya tidak
mungkin, dengan sepeda warga menempuh jarak itu padahal tidak sampai dua ratus
meter apabila melalui jembatan. Dan sebaliknya renovasi sana renovasi situ
terjadi di rumah perangkat desa. Dengan kondisi yang seperti itu, banyak warga
mengeluhkan kepada ketua RT, Pak Ridam dan segera ditindaklanjuti.
“Permisi, Pak.”
“Ya silakan masuk.”
“Anu begini Pak, banyak warga yang
protes masalah jembatan kan kalau dihitung-hitung dana yang terkumpul sudah
cukup banyak apa tidak sebaiknya segera diperbaiki.” Pak Ridam menjelaskan
dengan sopan. “Kalau tidak segera diperbaikki, warga mengancam akan protes.”
“Baiklah besok saya akan datangkan
alat-alat untuk memperbaiki jembatan itu.” Jawab si perangkat desa dengan
sedikit gugup.
Demikian waktu berlalu, alat-alat
yang dijanjikan tidak kunjung datang. Kesabaran warga sudah hampir terkuras
habis oleh janji-janji perangkat desa. Warga semakin geram dan berencana akan
melakukan protes siang itu. Sekitar tiga puluh orang melakukan telah
bersiap-siap dengan spanduk dengan berbagai tulisan, persis seperti yang hampir
setiap hari dilakukan mahasiswa disekitar bundaran HI.
“Tunggu tunggu apa-apaan ini!”
spontan si perangkat desa mencoba menghentikan aksi protes warga.
“Mana janjimu Pak! Kami sudah
kenyang makan janji busuk itu! Perbaikan perbaikan? Omong kosong.”
“e...e...e sabar dulu, emang akan
diperbaiki besok tenanglah sekarang bubar!”
“Sungguh cerdik bermain
kongkalikong!” setelah itu warga membubarkan diri dengan rasa kecewa.
Keesokan harinya ada kabar bahwa
perangkat desa telah tewas bunuh diri dirumahnya. Sebelum bunuh diri, ia sempat
menuliskan surat di secarik kertas yang pada intinya meminta maaf kepada warga
atas pajak ayam. Uang itu kini sudah menyatu dengan rumah mewah dan mobil milik
perangkat desa itu. Kewibawaan seseorang memang tidak sepenuhnya bisa mewakili
perbuatannya.
“Eh Pakde, dikubur dimana tuh mayat
si koruptor?”
“Di pemakaman lama kampung kita.”
“Untung saja masih ada tanah yang
mau menerimanya, paling sebentar lagi kuburannya hancur dan tulang-tulangnya
akan hanyut terbawa banjir rutinan.”
“Ngomong apa kamu ini.”